MAKNA LAFADZ "BAHR" ( AIR TAWAR /ASIN ) (KITAB SHAWA'IQ AL-MUHRIQOH)
▷ KAJIAN KITAB : SHAWA'IQ AL-MUHRIQOH (BELUT)
▷ MAKNA LAFADZ "BAHR" ( AIR TAWAR /ASIN )
=====================================
Assalamu'alaikum mas jhooon... selamat merayakan 17 agustus 45. jangan lupa kirim hadiyach FATIHAH Pada pejuang negri kita yang telah gugur mendahului kita...
dan ini terusan kajian dari kitab belut kemarin... monggo disimak
▷▷ (PERSOALAN YANG KEDUA)
dalam hal mengutip perkataan para mufassir dan pakar lain terkait maksud dari makna “bahr/perairan” dari firman Allah ta’ala
╰ “uhilla lakum saydul bahr/dihalalkan bagimu binatang buruan laut”.
Berkata dalam kitab Al-Jamal dengan mengutip dari tafsir Al-Khazin; firman Allah Al-Bahr (perairan), yang dimaksud dengan Al-Bahr adalah seluruh air, baik tawar maupun asin, baik dilaut sungai atau empang (ghadir). Dalam catatan pinggir kamus lafad (ghadir) dimaknai dengan sejumlah air yang tersisa dari arus air.
> Kemudian Syeh menambahi dengan pendapat imam Baidawi, bahwa yang dimaksud dengan “hewan buruan perairan/syadul bahr” adalah hewan yang diburu dari dalam air dan tidak bisa hidup kecuali di air. Jadi yang dimaksud dari lafad “sayd” di sini adalah “masid/buruan”, sementara yang dimaksud dengan “bahr” adalah air secara mutlak, baik air laut yang kita kenal maupun sungai.
> Dalam kitab matan Al-Rawd dikatakan bahwa hewan yang tidak bisa hidup kecuali di air itu halal bagaimanapun ia mati, meskipun tidak berwujud seperti serupa dengan ikan yang biasa kita jumpai.
> Sebagain pakar (syekh) kami berkata; beralihnya para pakar fikih dari ta’bir “bahr/laut” pada “ma’/air merupakan bukti atau dalil bahwa yang dimaksud dengan “bahr” adalah air secara mutlak, baik asin maupun tawar, sedikit atau banyak, sebab segala hal yang tercakup dalam kemutlakan mereka (pakar fikih) maka itulah yang yang dimaksud mereka (pakar fikih). Dengan kata lain, penggunaan pakar fikih dengan “ma’/air” itu mutlak, jadi maksud mereka mencakup segala jenis air.
▷▷ (PERSOALAN KETIGA)
peringatan agar tidak gampang dalam mengambil hukum; menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, tanpa adanya dalil syara’. Allah berfirman:
╰ “Barangsiapa yang tidak menjatuhtkan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah mereka tergolong orang-orang yang kafir.”
- Dalam ayat lain dikatakan “mereka orang-orang yang zalim”.
╰ Allah berfirman: “makanlah rizki yang Allah limpahkan pada kalian, yang halal dan tayyib, dan bertakwalah pada Allah yang kamu beriman pada-Nya”.
> Ibn Jarir dalam tafsirnya berkata: Adapun firman Allah “bertakwalah pada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” sesungguhnya Allah berfirman; Takutlah Hai kalian orang-orang yang beriman dari berbuat melampaui batas, menghalalkan perkara yang diharamkan atas kalian, mengharamkan perkara yang dihalalkan atas kalian.
Hindarilah berbuat demikian oleh kalian, sebab dengan menentang dan melakukan hal itu menyebabkan turunnya amarah pada kalian atau kalian berhak mendapat hukuman dari (Allah) yang kalian beriman pada-Nya, yangmana kalian menyatakan keesaan-Nya, mempercayai ketuhanannya”.
> Rasul bersabda: “orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah orang yang paling berani pada api neraka”.
> Rasul bersabda: “ilmu ada tiga: ayat muhakkamah, sunnah yang telah lalu, dan aku tidak mengetahui … sebagaimana yang telah disabdakan.
> Ibn Hajar dalam kitab Fatawa Al-Kubra berkata: “Tidaklah (berhak) seseorang yang beberapa kitab dan tidak memiliki kapabilitas dalam berfatwa untuk memberikan fatwa pada orang awam kecuali terkait pengetahuan dari madzhabnya saja yang diketahui secara mantap tanpa ada keraguan seperti wajibnya niat dalam berwudu’, batalnya wudu’ sebab menyentuh zakar atau menyentuh wanita lain, dan persoalan semacam itu yang tidak ada perselisihan di dalamnya.
Berbeda dengan permasalahan khilafiyah maka tidak boleh baginya berfatwa terkait masalah itu. Tetapi bila ia menukil pendapat dari seorang mufti atau kitab yang dapat dipercaya kredibilitasnya dan penukil merupakan orang yang adil [1] maka diperbolehkan bagi orang awam memegang pendapatnya, sebab dalam keadaan demikian ini ia sebagai orang yang menukil, bukan orang yang berfatwa.
Tidaklah (berhak) seorang yang tidak memiliki kapabilitas berftawa mengeluarkan fatwa terkait permasalah yang tidak tertulis meskipun ia memiliki pandangan atau beberapa pandang. Dan orang yang mengetahui secara mendalam dalam hal fikih adalah orang yang mengetahui seluk-beluk usul (fiqih) imamnya, dalam setiap bab fikih, sehingga mungkin mengqiyaskan (menyamakan) persoalan yang tidak disebutkan (nash) oleh imamnya atas persoalan yang sudah di nash oleh imam.
Derajat ini (mengetahui secara mendalam fikih) merupakan derajat yang agung yang tidak dijumpai di era sekarang, sebab itu merupakan derajat “ashabul wujud”, sudah terputus keberadaannya semenjak 450 tahun silam.
______________________________________
[1] Dalam hal ini ada perbedaan tulisan, dalam kitab belut di tulis عدل sementara dalam kitab fatawa al-kubranya ibn Hajar –yang menjadi sumber rujukan- ditulis عادل
Wallahu a’lam bis sawab
SEMOGA BERMANFAAT
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
☆▷▷ Kalau Belum Jelas, Ada Yang Ditanyakan Atau Koreksi Kesalahan Langsung Menuju Tempat Ngopi & Cakruan Kami, Cukup Klik Disini ◁◁☆
0 Response to "MAKNA LAFADZ "BAHR" ( AIR TAWAR /ASIN ) (KITAB SHAWA'IQ AL-MUHRIQOH)"
Post a Comment
Monggo yang mau berkomentar baik itu kritik, saran, masukan, atau motivasi, asal tak ada unsur Caci mencaci, Pelecehan agama, Pelecehan seksual dan Merayu istri orang
⇧ ISI KOMENTAR FACEBOOK DIATAS ITU ⇧
⇩ ISI JUGA KOMENTAR DIBAWAH INI ⇩