PENJELASAN TENTANG “AL-SUNNAH DAN AL-BID’AH ( KAJIAN 02 )



★ NGAJI POSO ★

▷ KAJIAN : 02 ( KE-DUA )
▷ KITAB : RISALAH AHLI SUNAH WAL JAMA'AH

╰●▷ PENJELASAN TENTANG “AL – SUNNAH DAN AL – BID’AH ◁●╮

→ Mizan yang ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau terperinci.

Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni :
-wajib,
-sunnah,
-haram,
-makruh,
-khilaful aula dan
-mubah.

Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah.

Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan
-bid’ah wajibah,
-nadbiah,
-tahrimah,
-karohah,
-khilafal aula dan
-bid’ah ibadah

tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.

والله اعلم” ”

→ Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam tiga kelompok yakni :

◐▷ Bid’ah Shorihah → yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya.

◐▷ Kedua “Al-bid’ah al-Idlofiyah” → yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah dimana bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.

◐▷ Ketiga, Al – Bid’ah al-Khilafiyah, → yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu sisi dia berkata : ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.

→ Al-‘Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al – Syibtsiri dalam Syarah Al – Arba’in al – Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits nabi :

من احدث حدثا او آوى محــــدثا فعلــيه لعــنة الله

“Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah”.

Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al – Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau lantas membuat batasan ;

 “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan dizaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang ‘gharib’ (jarang ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al- Sunnah dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam. Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain–lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.

 Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar - pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.

◁◁SEKIAN▷▷

{ SEMOGA BERMANFAAT }

Teks Arab
========

    (الميزان الثالث) ميزان التمييز بشواهد الأحكام وهو تفصيلي ينقسم إلى أقسام الشريعة الستة، أعنى الوجوب والندب والتحريم والكراهة وخلاف الأولى والإباحة، فكل ما انحاز لأصل بوجه صحيح واضح لا بعد فيه الحق به، وما لا فهو بدعة. وعلى هذا الميزان جرى كثير من المحققين واعتبرها من حيث اللغة للتقريب. والله أعلم.
     ثم قال: وأقسامها ثلاثة، البدع الصريحة، وهي ما أثبتت من غير أصل شرعي في مقابلة ما ثبت شرعا من واجب أو سنة أو مندوب أو غيره فأماتت سنة أو أبطلت حقا، وهذه شر البدع، وإن كان لها ألف مستند من الأصول أو الفروع فلا عبرة به. الثاني البدع الإضافية، وهي التي لأمر لو سلم منها لم تصح المنازعة في كونه سنة أو غير بدعة بلا خلاف أو على خلاف مما تقدم. الثالث البدع الخلافية، وهي المبنية على أصلين يتجاذبها كل منهما، فمن قال بهذا قال: بدعة، ومن قال بمقابله قال: سنة، كما تقدم في ضرب الإدارة وذكر الجماعة.
     وقال العلامة محمد ولي الدين الشبشيري في شرح الأربعين النووية على قوله صلى الله عليه وسلم: {مَنْ أحْدَثَ حَدَثاً أوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَة الله} ودخل في الحديث العقود الفاسدة، والحكم مع الجهل والجور ونحو ذلك مما لا يوافق الشرع. وخرج عنه ما لا يخرج عن دليل الشرع، كالمسائل الإجتهادية التي ليس بينها وبين أدلتها رابط إلا ظن المجتهد، وكتابة المصحف  وتحرير المذاهب وكتب النحو والحساب، ولذا قسم ابن عبد السلام الحوادث إلى الأحكام الخمسة، فقال: البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم واجبة كتعلم النحو وغريب الكتاب والسنة مما يتوقف فهم الشريعة عليه، ومحرّمة كمذهب القدرية والجبرية والمجسمة، ومندوبة كإحداث الربط والمدارس وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومكروهة كزخزفة المساجد وتزويق المصاحف، ومباحة كالمصافحة عقب صلاة الصبح والعصر والتوسع في المأكل والمشرب والملبس وغير ذلك.
     وإذا عرفت ما ذكر تعلم أن ما قيل: إنه بدعة كاتخاذ السبحة، والتلفظ بالنية، والتهليل عند التصدق عن الميت مع عدم المانع عنه، وزيارة القبور، ونحو ذلك ليس ببدعة. وإن ما أحدث من أخذ أموال الناس بالأسواق الليلية، واللعب بالكورة وغير ذلك من شر البدع.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

LINK ASAL KAJIAN PGP

0 Response to "PENJELASAN TENTANG “AL-SUNNAH DAN AL-BID’AH ( KAJIAN 02 )"

Post a Comment

Monggo yang mau berkomentar baik itu kritik, saran, masukan, atau motivasi, asal tak ada unsur Caci mencaci, Pelecehan agama, Pelecehan seksual dan Merayu istri orang

⇧ ISI KOMENTAR FACEBOOK DIATAS ITU ⇧

⇩ ISI JUGA KOMENTAR DIBAWAH INI ⇩

IKUTI FANS PAGE PGP