PENJELASAN TENTANG “AL-SUNNAH DAN AL-BID’AH ( KAJIAN 01 )



★ NGAJI POSO ★

▷ KAJIAN :  01 ( PERTAMA )
▷ KITAB     : RISALAH AHLI SUNAH WAL JAMA'AH

╰●▷ PENJELASAN TENTANG “AL – SUNNAH DAN AL – BID’AH ◁●╮

Lafadz “Al-Sunnah” dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Baqi’ dalam kitab ‘Kulliyat’-nya secara etimologi adalah Al-Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak diridloi.
Menurut terminologi syara’ : “Al Sunnah” merupakan “Al Thoriqoh”, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A.

Hal ini didasarkan pada sabda nabi :

عليكم بسنتى وســنة الخلــفا ء الراشــدين من بعدى 

“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur Rasyidin, setelahku”.

▷ Sedangkan menurut terminologi Urf adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah “Al-Sunny” merupakan bentuk penisbatan dari lafadz “Al-Sunnah” dengan membuang ta’ marbuthah.

Lafadz “Al-Bid’ah” sebagaimana dikatakan oleh Al-Syekh Zaruq di dilam kitab “Iddati al-Murid”

▷ menurut terminologi syara’ adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda nabi SAW :

من احدث فى امرنا هذا ما ليس مـــــنه فهو رد

“Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”

Dan sabda Rasul :

 وكل محـــــدثة بدعة

“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”

Para ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furu’ al – Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.

✔Al-Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni :

■▷ pertama ; harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika didalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.

■▷ Pertimbangan kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Sholih sebagai tuntunan “Thariqah al-Sunnah”, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’ maupun asal. “Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya”, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai “bid’ah madzumah”, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al-Shalih dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.

Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al –Shalih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut.

 ▷▷ Imam Al-Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al-Shalih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.

Para ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan pada sebuah hadits :
ما تركته لكم فهو عفو

“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”

Sikap Rasululah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda Nabi sebagai Al-Syari’, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.

◁◁◁BERSAMBUNG▷▷▷▷

{ SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT }

TEKS ARAB
=========

فصل) في بيان السنة والبدعة
     السنة بالضم والتشديد كما قال أبو البقاء في كلياته: لغة الطريقة ولو غير مرضية. وشرعل اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول الله صلى الله عليه وسلم أو غيره ممن هو علم في الدين كالصحابة رضي الله عنهم لقوله صلى الله عليه وسلم: {عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ}. وعرفا ما واظب عليه مقتدي نبيا كان أو وليا. والسني منسوب إلى السنة حذف التاء للنسبة.

     والبدعة كما قال الشيخ زروق في عدة المريد: شرعا إحداث أمر في الدين يشبه أن يكون منه وليس منه سواء كان بالصورة أو بالحقيقة لقوله صلى الله عليه وسلم: {مَنْ أحْدَثَ في أمْرِنَا هَذَا ما لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ}، وقوله صلى الله عليه وسلم: {وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ}. وقد بين العلماء رحمهم الله أن المعنى في الحديثين المذكورين راجع لتغيير الحكم باعتقاد ما ليس بقربة قربةً لا مطلق الإحداث، إذ قد تناولته الشريعة بأصولها فيكون راجعا إليها أو بفروعها فيكون مقيسا عليها.

     قال: وموازينها ثلاثة:
     (الأول) أن ينظر في الأمر المحدث، فإن شهد له معظم الشريعة وأصلها فليس ببدعة، وإن كان مما يأبى ذلك بكل وجه فهو باطل وضلال، وإن كان مما تراجعت فيه الأدلة وتناولته الشبهة واستوت فيه الوجوه اعتبرت وجوهه، فما ترجح من ذلك رجعت إليه.

    (الميزان الثاني) اعتبار قواعد الأئمة وسلف الأمة العاملين بطريق السنة، فما خالفها بكل وجه فلا عبرة به، وما وافق أصولهم فهو حق وإن اختلفوا  فيه فرعا وأصلا، فكل يتبع أصله ودليله، وقد وقع من قواعدهم أن ما عمل به السلف وتبعهم الخلف لا يصح أن يكون بدعة ولا مذموما، وما تركوه بكل وجه واضح لا يصح أن يكون سنة ولا محمودا، وما أثبتوا أصله ولم يرد عنهم فعله فقال مالك بدعة لأنهم لم يتركوه إلا لأمر عندهم فيه. وقال الشافعي ليس ببدعة وإن لم يعمل به السلف لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام بهم في الوقت أو لما هو أفضل منه، والأحكام مأخوذة من الشارع وقد أثبته. واختلفوا أيضا فيما لم يرد له من السنة معارض ولا شبهة، فقال مالك بدعة، وقال الشافعي ليس  ببدعة، واستند لحديث {مَا تَرَكْتُهُ لَكُمْ فَهُوَ عَفْوٌ}، قال وعلى هذا اختلافهم في ضرب الإدارة والذكر بالجهر والجمع والدعاء، إذ ورد في الحديث الترغيب فيه ولم يرد عن السلف فعله. ثم كل قائل لا يكون مبتدعا عند القائل بمقابله لحكمه بما أداه اجتهاده الذي لا يجوز تعديه، ولا يصح له القول ببطلان مقابله لقيام شبهته، ولو قيل بذلك لأدى إلى تبديع الأمة كلها، وقد عرف أن حكم الله تعالى في مجتهد الفروع ما أداه إليه اجتهاده، سواء قلنا المصيب واحد أو متعدد، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: {لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أُمِرْنَا بِالعَجَلَةِ، وَصَلُّوْا فِيْ الطَرِيْقِ، وَقَالَ آخَرُوْنَ أُمِرْنَا بِالصَلاَةِ هُنَاكَ، فَأَخَّرُوْا، وَلَمْ يعب صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَىْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ}، فدل ذلك على صحة العمل بما فهم من الشارع إذا لم يكن عن هوى.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

LINK ASAL KAJIAN PGP

0 Response to "PENJELASAN TENTANG “AL-SUNNAH DAN AL-BID’AH ( KAJIAN 01 )"

Post a Comment

Monggo yang mau berkomentar baik itu kritik, saran, masukan, atau motivasi, asal tak ada unsur Caci mencaci, Pelecehan agama, Pelecehan seksual dan Merayu istri orang

⇧ ISI KOMENTAR FACEBOOK DIATAS ITU ⇧

⇩ ISI JUGA KOMENTAR DIBAWAH INI ⇩

IKUTI FANS PAGE PGP