AMPLOP MBAH DULLAH
♛ AMPLOP MBAH DULLAH ♛
_____________________________
Assalamu'alaikum mas jhooon.. sugeng ngopi nggih... sambil ngopi mboten wonten salahnya kita baca kisah dari mbah dullah di bawah yang mungkin akan menjadi ruhut tasabuh yang insyaalloh berujung keindahan ahlaq... monggo kito nikmati ⇩⇩
◆▷ "Ada yang bilang, saya ini masih keturunan Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wasallam", seorang kyai berkata dalam sebuah obrolan, "untungnya riwayat silsilah yang ditunjukkan kepada saya itu dlo'if!"
●▷ "Kok malah untung?"
◆▷ "Waaa.... kalau saya disahkan menjadi
keturunan Kanjeng Nabi.... payah saya!"
●▷ "Lho? Gimana sih?"
◆▷ "Nggak payah gimana? Saya 'kan jadi nggak boleh terima sedekah? Apalagi zakat? Apa nggak ngaplo saya?"
Memang tidak boleh menerimakan zakat dan sedekah kepada Bani Hasyim dan Bani Abdil Muththolib. Dan mereka pun diharamkan menerimanya, demi keagungan dan kehormatan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wasallam.
Mbah Dullah Salam, Kyai Abdullah bin
Abdussalam rahimahullah, Kajen, Pati, diyakini juga dari Bani Hasyim. Wa qiila silsilah beliau menyambung sampai kepada Syaikh Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Sambu, Lasem.
Bertemu dengan silsilah Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Hamid Pasuruan, Kyai Achmad Shiddiq Jember, dan Gus Dur. Memang, catatan-catatan silsilah itu sebagian masih diperdebatkan. Tapi Mbah Dullah adalah seorang yang amat hati-hati. Lagi pula, beliau adalah Mbah Dullah Salam, lebih dari sekedar seorang kyai.
⇨ Seseorang bertamu, menyerahkan amplop tebal berisi segepok uang.
█ ▷ "Nuwun sewu, Mbah, ini sedekah saya..."
◆▷ "Untuk aku?"sahut mbah Dullah
█▷ "Iya".
Mbah Dullah manggut-manggut.
◆▷ "Di kampungmu sudah nggak ada orang feqir?"
Si tamu kaget dan serta-merta kecut hati, tapi berusaha menjawab hati-hati,
█▷ "Yang di kampung saya insyaallah sudah
semua, Mbah. Ini saya sediakan khusus untuk Simbah..."
Sinar mata Mbah Dullah tidak berkurang
tajamnya
◆▷ "Jadi, aku ini kamu anggap feqir?"
Nyaris pingsan tamu itu! Keringat dingin
bertotol-totol di dahinya. Begitu takut hingga lidahnya lumpuh. Tak mampu berucap walau hanya kata "ampun".
Senyum mengembang di wajah Mbah Dullah.
Membebaskan si tamu dari himpitan gunung.
◆▷ "Pokoknya ini buat aku ya?" suara Mbah
Dullah jauh lebih ramah.
█▷ "I... iya..., Mbah..."
◆▷ "Tashorrufnya terserah aku ya?"
Tamu cuma mampu mengangguk lemah.
Mbah Dullah menengok ke halaman rumah.
Santri-santri cilik berkeliaran dan
bercengkerama. Mbah Dullah memanggil salah satunya,
◆▷ "Nak! Hei! Kamu! Ya! Sini kamu!"
Kepada santri itu Mbah Dullah mengulurkan amplop pemberian tamu.
◆▷ "Nih! Bagi-bagi dengan teman-temanmu ya!"
Santri melongo tak percaya. Tapi Mbah Dullah menggerakkan tangan memberi isyarat supaya dia lekas beranjak. Santri beringsut keluar rumah. Dan begitu lepas dari pintu, ia langsung teriak-teriak memanggili teman-temannya. Riuh-rendah pecah. Mbah Dullah tersenyum-senyum memandangi santri-santri berkejaran di halaman, berebut bagian.
◆▷ "Lihat!" beliau berkata pada tamu, "Duit
sampeyan sudah bikin gembira anak-anak sebanyak itu!"
SUBHANALLOH
SEKIAN
Dikolak dari : Terong gosong
semoga kita bisa meniru akhlaq beliau..amiin...
jhoooooiisss
ReplyDelete